-->

Minggu, 14 Juni 2020

Kisah Nabi Muhammad SAW (bag 15)


Abdul Muthalib Wafat

Muhammad ﷺ dibawa pulang oleh Ummu Aiman. Ia pulang sambil menangis hatinya pilu karena kini sebatang kara. Muhammad ﷺ makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.

Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan ayahandanya semasa ia dalam kandungan.
Kini, ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu. Muhammad ﷺ yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai seorang yatim-piatu.

Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam. Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad ﷺ.

Rasa duka Muhammad ﷺ mungkin agak ringan apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup lebih lama lagi. Namun, Allah سبحانه و تعال
sudah menentukan lain.
Pada usia 80 tahun, sang kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad ﷺ berusia delapan tahun. Ia mengiringi jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinangan air mata.

Kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu membekas begitu dalam pada diri Rasulullah ﷺ, sehingga di dalam Al Quran pun disebutkan ketika Allah ﷻ mengingatkan Rasulullah ﷺ akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu,

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Surah Ad-Duha (93:6)

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Surah Ad-Duha (93:7)

Keluarga Umayyah

Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak-anak Abdul Muthalib yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat, dan berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya.

Kemudian keluarga Umayyah tampil ke depan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu mereka idam-idamkan, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد

Diasuh Abu Thalib

Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad ﷺ. Ia tidak menunjuk Abbas yang kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya yang tertua karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad ﷺ karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.

Abu Thalib juga amat menyayangi kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad ﷺ yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan kepentingan Muhammad ﷺ daripada anak-anaknya sendiri.

Begitu pun sebaliknya, Muhammad ﷺ amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berhutang kepada orang lain. Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ﷺ ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan mencari rumput.

Abu Thalib merasa bahwa Muhammad ﷺ kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan dijauhkan dari dosa. Ia yakin, jika mengajak Muhammad ﷺ berdoa, Tuhan akan mengabulkan permohonannya. Seperti yang dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru “Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan”.

Maka, Abu Thalib keluar bersama Muhammad ﷺ. Ia menempelkan punggung Muhammad ﷺ ke dinding Ka’bah dan berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan di ladang menjadi gembur.


EmoticonEmoticon