Falsafah Turunnya Kitab Samawi
Syi’ah meyakini bahwa
Allah Swt telah menurunkan sejumlah kitab samawi untuk menuntun umat manusia ke
jalan yang lurus, antara lain: Sahifab Ibrahim dan Nuh, Taurat, Injil, dan
al-Quran, yang merupakan kitab paiing sempurna. Jika kitab-kitab ini tidak turun,
maka manusia akan tersesat dalam perjalanannya menuju ma’rifatullah dan dalam
beribadah kepada-Nya. Manusia juga akan kehilangan dasar-dasar taqwa, akhlak,
pendidikan, dan aturan-aturan sosial yang dibutuhkannya.
Kitab-kitab samawi ini
menyirami rohani manusia bagaikan hujan yang mengguyur bumi dan menumbuhkan di
dalamnya bibit-bibit taqwa, akhlak, ma’rifatullah, pengetahuan, dan al-hikmah.
Rasul beriman atas apa
yang telah diturunkan Tuhannya kepadanya. Demikian pula orang-orang beriman.
Mereka semuanya beriman pada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
para utusan-Nya. (QS. 2:285)
Tapi sayang, banyak di
antara kitab-kitab samawi itu, telah diselewengkan oleh tangan-tangan jahil dan
orang-orang bodoh serta disusupi pikiran-pikiran yang menyesatkan, kecuali
al-Quran, yang oleh sebab-sebab yang akan kami jelaskan nanti pada tempatnya
tidak dapat diyangkau oleh tangan-tangan kotor untuk diselewengkan. Al-Quran
laksana matahari yang memancarkan cahaya sepanyang zaman menerangi hati
manusia.
Telah datang dari sisi
Allah kepada kamu cahaya dan kitab yang jelas. Melaluinya, Allah memberi
petunjuk jalan-jalan keselamatan kepada orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya. (QS.5:15-16)
Al-Quran Mukjizat Terbesar
Syi’ah meyakini bahwa
al-Quran adalah mukjizat utarna Nabi Mijhammad saw. Tapi bukan hanya dan sisi
kefasihan, keanggian bahasa, keindahan keterangan-keterangannya, dan
kesempurnaan maknanya semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek lainnya.
Untuk mengetahui hal ini lebih jauh silahkan baca buku-buku aqidah dan ilmu
kalam.
Karena itu Syi’ah
meyakini bahwa tidak seorang pun dapat membuat kitab seperti al-Quran atau
bahkan sebuat surat sekalipun. Al-Quran men.antang siapa saja, bahkan secara
berulang-ulang, agar mereka membuat seperti al-Quran. Tapi tidak seorang pun
yang mampu memenuhi tantangan ini.
Katakanlah, seandainya
manusia dan jin bekerjasama untuk membuat yang seperti al-Quran, niscaya mereka
takkan dapat membuat Yang sepertirya, sekalipun mereka sa!ing mendukung satu
sama lainnya. (QS. 17:88)
Dan jika kamu ragu
tantang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah sebuah surah
yang seperti al-Quran dan ajaklah orang-orangmu, selain Allah, untuk
membantumu, jika memang kamu benar. (QS. 2:23)
Syi’ah meyakini bahwa
al-Quran tidak akan surut dengan berlalunya zaman. Malah kemukjizatannya
semakin berkibar dan keagungannya semakin tampak.
Dalam sebuah hadis dari
Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa:
Sesungguhnya Allah swt
tidak menjadikan al-Quran hanya untuk suatu masa atau suatu kelompok manusia
saja. Tapi ia aktual untuk setiap zaman dan cocok untuk setiap masyarakat
hingga hari kiamat. (Bihar al-Anwar, 2:280, hadis no: 44)
Al-Quran Tidak Mengalami
Perubahan
Syi’ah meyakini bahwa
al-Quran yang ada di tangan kaum Muslimin saat ini adalah al-Quran yang sama
dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tanpa sedikitpun mengalami
penambahan atau pengurangan.
Para penulis wahyu
telah membukukan al-Quran sejak hari-hari pertama turunnya wahyu. Kaum Muslimin
senantiasa membacanya siang dan malam dan pada saat melakukan shalat limawaktu.
Banyak di antara mereka yang hafal al-Quran di luar kepala. Dalam hal ini, para
penghapal dan pembaca al-Quran memperoleh kedudukan khusus dalam masyarakat
muslim. Banyak hal menyebabkan al-Quran terpelihara dari penyimpangan dan
perubahan, di samping itu, Allah sendiri telah menjamin akan menjaganya sampai
kapanpun. Oleh karena itu, al-Quran tidak akan mengalami penyimpangan atau
perubahan.
Sesungguhnya Kamilah
yang menurunkan al-Quran dan Kami pula yang akan memeliharanya. (QS. 15:9)
Para pakar dan
ulama-ulama terkemuka Islam, baik Sunni maupun Syi’ah, sepakat bahwa al-Quran
terpelihara dengan baik dan tidak mengalami sedikitpun perubahan atau tahrif.
Kalau toh ada yang berpandangan bahwa telah terjadi tahrif, baik dan pihak
Syi’ah atau Sunni, itu hanya oleh segelintir orang, yang nota bene hanya
bersandarkan kepada beberapa riwayat, yang oleh ulama kedua belah pihak telah
dinyatakan palsu, maudhu’, dan ditolak mentah-mentah, atau dipahami dalam arti
perubahan yang bersifat maknawi, al-tahrif al-maknawi, yang berarti telah
terjadi penyimpangan terhadap makna ayat al-Quran, bukan redaksinya. Atau
paling tidak, telah terjadi pencampuradukan antara tafsir ayat di satu pihak
dan teks asli al-Quran di pihak lain.
Dengan demikian,
orang-orang yang berpikiran sempit, yang senantiasa menuding Syi’ah atau Sunni
telah meyakini tahrif, padahal ulama-ulama terkemuka kedua aliran ini telah
menolak mentah-mentah adanya tahrif itu. Sesungguhnya di satu sisi, dengan
bodoh telah menohok al-Quran, dan di sisi lain, telah membuat celah untuk
mempertanyakan keabsahan kitab samawi nan agung ini. Selain itu, telah
memberikan pengabdian besar kepada musuh dan orang-orang yang mengincar Islam.
Selain itu, rnengarnati
perjalanan sejarah pembukuan al-Quran, jam’ul-qur’an, sejak zarnan Nabi saw dan
perhatian besar yang diberikan kaum Muslimin untuk menulis al-Quran,
menghafalnya, dan membacanya, serta adanya penulis-penulis wahyu sejak
hari-hari pertama turunnya al-Quran, mengungkapkan kepada kita suatu kebenaran
yang tidak dapat diingkari bahwa tangan-tangan jahil tidak akan mampu menjamah
al-Quran untuk melakukan tahrif sampai kapanpun.
Dalam pada itu Syi’ah
tidak mempunyai al-Quran lain selain yang beredar luas di tangan kaum Muslimin.
Untuk menelusuri hal ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Rumah-rumah kami,
masjid, perpustakaan, dan sebagainya penuh dengan al-Quran. Bahkan berbagai
musium malah menyimpan manuskrip-manuskrip al-Quran kuno yang berumur ratusan
tahun. Semuanya sama, sedikitpun tidak ada perbedaan. Dan jika dulu penelusuran
ini dirasa sulit, tapi masa kita sekarang ini, sama sekali tidak ada
kesulitannya, bahkan setiap orang bisa melakukannya dengan baik dan ia akan
sampai pada kesimpulan bahwa tudingan-tudingan itu semuanya palsu.
Maka berilah kabar
gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti
apa yang terbaik daripadanya.(QS. 39:17-18)
Dewasa ini,
institusi-institusi pendidikan agama kami, Hauzah, aktif mengkaji ilmu-ilmu
al-Quran secara luas, yang salah satu kajian pentingnya ialah kajian tentang
tidak adanya tahrif dalam al-Quran.
Al-Quran dan Kebutuhan
Materi Rohani Manusia
Syi’ah meyakini bahwa
segala kebutuhan manusia, apakah materi atau rohani, prinsip-prinsip dasarnya
telah dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran telah menjelaskan pokok-pokok pikiran
tentang poLItik dan pemerintahan, hubungan antar masyarakat prinsip-prinsip
pergaulan, perang, damai, hukum, ekonomi, dan sebagainya, yang jika diterapkan
pasti akan membawa kesejahteraan dalam kehidupan manusia.
Dan Sesungsnhnya Kami
telah turunkan al-Quran sebagai penjelasan bagi segala sesuatu, petunjuk,
rahmat, dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang Islam. fQS. 16: 89)
Karena itu Syi’ah yakin
bahwa Islam selamanya tidak dapat dipisahkan dari masalah pemerintahan dan
politik. Bahkan menyeru pemeluknya agar memegang kendali urusan mereka sendiri
supaya dapat menghidupkan nilai-nilai Islam yang tinggi dan mendirikan
masyarakat yang Islami, yang menegakkan keadilan sejati, terhadap kawan maupun
lawan.
Hai orang-orang yang
beriman, jadilah penegak-penegak keadilan dan saksi-saksi untuk Allah walaupun
atas dirimu sendiri, kedua orang tua, atau keluarga dekat. (QS. 4: 135)
Dan jangan
sekali-sekali kebencianmu kepada suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku
adil. Berlakulah adil, sesungguhnya keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. (QS.
5:8)
Membaca, Mengkaji, dan
Mengamalkan
Syi’ah meyakini bahwa
membaca al-Quran merupakan salah satu ibadah yang paling utama di antara
ibadah-ibadah lainnya, karena membaca al-Quran dapat membantu pembacanya
melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran. Sedangkan telaah dan kajian itu
sendiri merupakan sumber amal saleh. Allah menyeru nabi-Nya:
Bangunlah pada malam
hari kecuali sedikit, yaitu separuhnya atau kurangi sedikit, atau tambahkan
sedikit, dan bacalah al-Quran secara tartil. (QS. 73:2-4)
Dan menyeru seluruh
kaum Muslimin:
Bacalah apa wng mudah
dari al-Quran. (QS. 73:20)
Akan terapi, seperti
vang telah kami singgung di atas, bacaan tersebut harus dapat mengantarkannya
melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran, baik terhadap makna maupun
kandungannya, kemudian menjadikannya mukaddimah bagi pengamalannya.
Apakah mereka tidak
menelaah al-Quran? Ataukah hati mereka terkunci? (QS. 47: 24)
Dan Kami telah permudah
Al-Quran untuk pelajaran, maka apakah ada yang mau mmgambil pelajaran? (QS.
54:17)
Dan adalah kitab yang
Kami turunkan, penuh berkah, maka ikutilah ia. (QS. 6: 155)
Maka, orang-orang yang
membatasi diri pada bacaan dan hafalan saja dan tidak mengikutinya dengan
perngkajian dan pengamalannya suungguh rugi besar, karena betapa pun ia telah
mengamalkan salah satu di antara tiga rukun utama, tetaapi sesungguhnya ia telah
menyia-nyiakan dua rukun lainnya yang lebih utama.
Pembahasan Menyimpang
Syi’ah meyakini bahwa
ada tangan-tangan jahat yang berusaha mengalihkan kaum Muslimin dari melakukan
kajian terhadap ayat-ayat al-Quran dan pengamalannva. Pada masa Umayyah dan
Abbasiyyah misalnya, tangan-tangan itu menyibukkan kaum Muslimin
dengan isu keqadiman dan kebaharuan al-Quran sehingga membuat umat Islam pecah
menjadi dua kelompok yang saling berseteru, yaitu antara pendukung keqadiman
al-Quran dan pendukung kebaharuannya, hingga jatuh korban besar di kedua belah
pihak.[1] Padahal perdebatan masalah ini sama sekali tidak didasarkan pada
prinsip yang benar, yang berhak mendapatkan perhatian sebesar itu, sampai
pertengkaran segala, karena jika yang dimaksud dengan kalam Allah adalah
huruf-huruf dan lembaran-lembaran kertasnya, maka sudah pasti ia adalah
baharu, tetapi jika yang dimaksud adalah ilmu Allah, maka ia qadim sebagaimana
Dzat-Nya. Namun para penguasa dan khalifah-khalifah tiran pada masa itu terus
membesar-besarkan rnasalah ini sehingga kaum Muslimin terlena selama
bertahun-tahun, dan tangan-tangan jahat itu, sampai saat ini pun, terus
berusaha dengan berbagai cara mengalihkan kaum Muslimin dari pengkajian
al-Quran dan pengamalannya.
Kaidah Penafsiran al-Quran
Syi’ah meyakini bahwa
ayat-ayat al-Quran harus difahami sesuai pengertian umum dan makna harfiyah
yang dikandungnya, kecuali jika ada indikasi rasional, qarinah aqliyah, atau
tertulis, qarinah naqliyah, di dalam atau di luar ayat, yang menunjukkan makna
lain. Akan tetapi qarinab atau indikasi yang dimaksud tidak boleh bersifat
meragukan atau masykukah. Demikian pula tidak boleh menafsirkan al-Quran hanya
berdasarkan asumsi dan perkiraan.
Sebagai contoh, kita
yakin bahwa maksud kata al-‘ama atau buta dalam ayat, Barangsiapa buta di dunia
akan buta pula di akhirat, (QS. 17:72), sudah pasti bukan dalam arti buta
fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik
dan salih. Dengan demikian, maksud buta pada ayat di atas ialah buta hati atau
nurani. Mengapa kita tafsirkan seperti itu? Karena demikianlah indikasi
rasional atau qarinah aqliyahnya.
Demikian pula ketika
al-Quran menggambarkan sekelompok musuh Islam sebagai:
Tuli, bisu, buta.
Sesungguhnya mereka tidak berakal (QS. 2:171)
Jelas sekali bahwa yang
dimaksud al-Quran dengan sifat-sifat tersebut di atas bukan sifat-sifat fisik,
tapi sifat-sifat batin. Pemahaman seperti ini berdasarkan qarinah yang ada.
Demikian pula ketika
Allah berfirman, Tetapi kedua tangan-Nya terbentang. (QS. 5:64), atau, Dan
buatlah kapal dengan mata Kami. (QS. 11:37), sama sekali tidak dapat dipahami
dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian
dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah
mustahil demikian. Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua
tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua
alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap
segala sesuatu.
Oleh karena itu Syi’ah
tidak dapat membenarkan sikap Jumud atau kaku terhadap kalimat-kalimat di atas,
baik yang menyangkut sifat-sifat Allah atau bukan, demikian pula sikap tidak
mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah, karena patuh kepada qarinah merupakan
sikap para uqala’, orang-orang berakal, bahkan al-Quran pun menganut sikap ini,
seperti vang ditegaskan-Nya:
Kami tidak mengirim
seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (QS. 14:4)
Hanya saja perlu
diingat bahwa qarinah yang dimaksud harus jelas dan pasti, seperti yang telah
kami singgung sebelum ini.
Bahaya Tafsir bi al-Ra’yi
Syi’ah percaya bahwa
tafsir bi al-ra’yi atau menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri
merupakan salah satu hal yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis
menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya
diusir dari hadirat Allah Swt. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan
bahwa Allah Swt berfirman:
Tidaklah beriman
kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pandangannya sendiri.
(Wasail, 28:18, hadis no. 22)
Ini amat jelas karena
seorang mukmin yang baik tidak akan menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam
hadis lain, yang banyak dimuat oleh kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi,
Nasai, Abu Daud, dan sebagainya disebutkan bahwa:
Barangsiapa mengatakan
sesuatu pada Al-Quran dengan pandangannya sendiri atau dengan sesuatu yang ia
tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka. (Mabahits fi Ulumil-quran : 304)
Adapun yang dimaksud
dengan tafsir bi al-ra’y atau menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri
lalah menafsirkan al-Quran semaunya, sesuai kepentingan dirinya atau
kepentingan kelompoknya, tanpa disertai qariah atau bukti yang menyertai makna
ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya bukan mengikuti al-Quran, tapi
bermaksud agar al-Quran mengikutinya.
Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan
melakukan hal ini.
Selain itu, jika pintu
tafsir bi al-ra’yi ini dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya,
sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas
berbagai aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir
bi al-ra’yi ialah penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan
pemahaman pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan
yang sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat
mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.
Masih terdapat beberapa
bentuk tafsir bi al-ra’yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang sesuai
dengan pandangannya saja. Misalnya, ketika ia menjelaskan masalah syafaat,
tauhid, imamah, dan sebagainya, maka ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang
sesuai dengan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak
sesuai dengan pandangannya, yang justeru dapat berfungsi sebagai penjelas
ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud
atau kaku terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak mengindahkan qarinah aqliyah
dan naqliyah yang benar merupakan bagian dari penyimpangan terhadap al-Quran.
Demikian pula tafsir bi al-ra’yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan
nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.
Sunnah Yang Diilhami Al-Quran
Syi’ah meyakini bahwa
seseorang tidak dapat mengatakan, kafana kitabullah, cukup bagi kami kitab
Allah saja, dan bersikap masa bodoh kepada hadis Nabi yang berfungsi
menafsirkan kebenaran-kebenaran al-Quran, menjelaskan nasikh dan mansukh, khas
dan ‘am, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena,
ayat-ayat al-Quran sendiri menjadikan sunnah Nabi dan sirahnya sebagai hujjab
bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan menyimpulkan hukum,
istinbath al-ahkam.
Dan apa yang dibawa
oleh Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dicegahnya jauhilah. (QS. 59:7)
Tidak ada hak bagi
seorang mukmin, laki maupun perempuan, jika Allah dan rasul-Nya memutuskan
suatu perkara mengambil pilihan lain dari urusan mereka. Maka barangsiapa
menentang Allah dan rasul-Nya sungguh telah sesat sesesat-sesatnya. (QS. 33:36)
Maka, orang yang tidak
peduli kepada al-Sunnah sesungguhnya telah memalingkan diri dari al-Quran.Tentu
saja al-Sunnah harus diambil dari jalur-jalur yang benar, muktabarah, karena
tidak semua yang dikatakan dari Nabi adalah betul-betul dari Nabi, karena
banyak yang berbohong atas nama Nabi saw. Imam ‘Ali as dalam salah satu
khutbahnya mengungkapkan: … (Bagian ini tidak tercetak dalam buku!)
Kedua, pernyataan para
imam Ahlulbait as bahwa semua ucapan mereka adalah hadis Nabi saw dan apa pun
yang mereka ucapkan sesungguhnya sampai kepada mereka dan orang tua mereka
hingga ke Nabi saw.
Ya, Rasulullah saw
memang mengetahui masa depan umatnya dan problema-problema yang akan menghadang
mereka. Karena itu, ia memberikan jalan keluar kepada mereka yang tercermin
dalam mengikuti al-Quran dan imam-imam Ahlulbait as.
Jika demikian, apakah
pada tempatnya mengacuhkan hadis penting ini dan menganggapnya sebagai angin
lalu? Karena itu, kami percaya bahwa jika persoalan ini mendapat perhatian
lebih besar, maka sebagian problema yang dihadapi kaum Muslimin dewasa ini,
yakni dalam masalah aqidah, tafsir, dan fiqh tidak akan pernah muncul.
[1] Pada beberapa buku
sejarah disebutkan bahwa Khalifah Ma’mun dengan bantuan salah seorang qhodinya
menetapkan bahwa siapa yang percaya bahwa al-Quran bukan makhluk dicopot dari
jabatan dan kesaksiannya tidak dapat diterima. (Lihat Tarikh ]ami’il- Qur’an,
h. 260)
sumber:https://anasunni.wordpress.com
EmoticonEmoticon